Akhir-akhir ini yang tersisa dari perbincangan terkait dengan ujian nasional adalah menyangkut pengawasan pelaksanaannya. Seringkali yang membikin repot adalah adanya penyimpangan pelaksanaan ujian itu sendiri. Penyimpangan itu tidak saja dilakukan oleh peserta ujian, melainkan justru dari para pengawas, dalam hal ini adalah para guru sendiri, dan bahkan juga kepala sekolah. Terdengar misalnya adanya kebocoran soal, beredar kunci jawaban, pengubahan kertas jawaban setelah ujian dilaksanakan dan bentuk penyimpangan lainnya yang beraneka ragam.
Sebagai akibat penyimpangan-penyimpangan seperti itu muncul rasa ketidak-adilan, misalnya ada sekolah yang diperkirakan jumlah kelulusannya rendah, ternyata justru sebaliknya, semuanya lulus. Sedangkan sekolah yang dianggap unggul, ternyata banyak siswanya yang tidak lulus. Maka kemudian muncul perbincangan, bahwa pelaksanaan ujian di sekolah yang dianggap kurang unggul telah terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh pengawas atau kepala sekolah sendiri.
Selain itu juga muncul isu, -------entah benar atau tidak, bahwa kelulusan sekolah dikaitkan dengan kebijakan politik daerah setempat. Misalnya, pimpinanan daerah menghendaki agar kelulusan ujian nasional ditarget mencapai prosentase tertentu. Sebagai akibatnya, maka kepala dinas dan juga kepala sekolah yang bersangkutan berkerja keras, hingga membentuk tim sukses ujian nasional. Tim sukses dimaksud melakukan koordionasi, agar target yang diiinginkan oleh kepala daerah tersebut dapat dicapai.
Para pejabat pelaksana pendidikan merasa harus memenuhi keinginan kepala daerah, karena terkait dengan prestasi jabatannya. Bahwa jabatan kepala dinas dan juga kepala sekolah adalah ditentukan oleh kepala daerah. Oleh karena itu jika yang bersangkutan tidak bisa memenuhi keinginannya, dikhawatirkan jabatannya akan dicopot, atau setidak-tidaknya akan mendapatkan teguran. Selain itu, hasil ujian nasional juga dijadikan kebanggaan sekolah atau daerah setempat. Bahkan lebih dari itu hasil ujian nasional akan menjadi penentu terhadap kelangsungan hidup bagi sekolah yang bersangkutan.
Pemerintah daerah akan merasa sukses manakala prosentase kelulusan bagi sekolah-sekolah di daerahnya cukup tinggi. Demikian pula kepala sekolah dan guru yang bersangkutan akan merasakan hal yang sama. Kelulusan sudah menyangkut kebanggaan, prestasi, dan bahkan juga harga diri bagi semua orang yang terlibat pada lembaga pendidikan yang bersangkutan. Sekalipun kebanggaan itu, ------jika prestasinya diperoleh dengan tidak wajar, sebenarnya hanya akan bersifat semu atau bahkan palsu belaka.
Selain itu, bagi sekolah-sekolah yang prosentase lulusannya rendah, maka tahun berikutnya akan kesulitan mendapatkan calon siswa baru. Hal itu juga menjadi ancaman tersendiri, terutama bagi sekolah-sekolah swasta yang kehidupannya tergantung dari jumlah siswanya. Oleh karena itu mereka merasa harus bekerja keras dan menempuh berbagai cara agar prosentase kelulusannya bisa dibanggakan.
Untuk mengatasi berbagai penyimpangan itu, Menteri Pendidikan Nasional mengambil kebijakan, yaitu berupa melibatkan perguruan tinggi menjadi pengawas ujian nasional. Rasanya agak aneh, akan tetapi itulah yang terjadi. Perguruan tinggi yang semestinya didorong untuk mengembangkan dirinya melakukan penelitian dan langkah-langkah strategis pengembangan ilmu, ternyata masih harus disibukkan pula untuk menjadi pengawas ujian di sekolah-sekolah. Keterlibatan perguruan tinggi tersebut menjadikan seolah-olah para guru dan kepala sekolah masih dipercaya sepenuhnya mengajar dan mendidik, tetapi tidak demikian dalam ujian nasional.
Untuk menghindari penyimpangan ujian, misalnya agar soalnya tidak bocor, selain melibatkan perguruan tinggi, maka juga melibatkan pihak-pihak keamanan. Sebelum ujian dilaksanakan, maka pengiriman soal harus selalu dikawal ketat, dan diletakkan di kantor polisi. Soal-soal harus diamankan sedemikian rupa. Seolah-olah segala sesuatunya sedemikian gawat, ada saja kekhawatiran terhadap orang-orang yang mencari untung dan atau setidak-tidaknya akan menagganggu. Memang, seharusnya dilakukan demikian, agar tidak terjadi keributan dalam pelaksanaan ujian nasional itu.
Terkait ujian nasional seperti itu, yang selalu saya pikirkan, bukan pada pelaksanaan dan pengamanannya itu. Saya justru berpikir, apakah ujian seperti itu memang masih relevan dengan perkembangan informasi dan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini. Dulu ketika ilmu pengetahuan dan informasi masih terbatas, maka kecakapan para siswa diukur atau dievaluasi dari seberapa banyak bahan pelajaran yang berhasil dikuasai dan dihafalkan. Sekarang ini informasi dan ilmu pengetahuan telah terbuka dan membanjir sedemikian rupa, sehingga jika ujian dilaksanakan seperti itu, maka beban yang harus ditanggung oleh para siswa akan menjadi semakin berat.
Pertanyaan yang selalu mengusik pikiran dan hati saya adalah, bukankah dengan perubahan zaman itu, maka cara menguji dan mengevaluasi prestasi siswa juga seharusnya diubah. Kalau dulu, para siswa, -------- pada setiap jenjang pendidikan, dituntut untuk menghafal dan menguasai beberapa materi pelajaran, maka bukankah pada saat seperti sekarang ini seharusnya pengukuran itu sudah waktunya diubah, yaitu menjadi seberapa jauh para siswa sanggup beradaptasi dengan kecepatan terhadap membanjirnya informasi dan ilmu pengetahuan itu. Pada saat sekarang ini yang diperlukan adalah kemampuan berkolaborasi dan atau bekerjasama, maka bukankah justru yang harus dinilai adalah seberapa pintar para siswa membangun dan melakukan kerjasama untuk mendapatkan temuan baru. Dan bukan sebaliknya, malah dilarang melakukan kerjasama.
Saya selalu khawatir, jangan-jangan para pengambil keputusan di bidang pendidikan telah gagal beradaptasi dengan perubahan, sehingga keputusannya tidak relevan dengan tuntutan zaman. Pada saat sekarang ini, segala sesuatu sudah berubah, sementara cara-cara menghadapinya masih sama dengan cara lama, seperti pada puluhan tahun yang lalu. Kekhawatiran saya selama ini, adalah jangan-jangan produk pendidikan selama ini, hanya berhasil memenuhi kebutuhan tenaga kerja tingkat rendahan, dan bahkan tidak mampu beradaptasi dengan tuntutan zaman, adalah merupakan kesalahan dari para pengambil keputusan. Mereka memberikan pendidikan yang kurang tepat dan bahkan lebih sederhana lagi, termasuk dalam melaksanakan evaluasi atau ujiannya. Akhirnya marilah kita renungkan dan pikirkan bersama secara mendalam. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar